HUT Kota Medan ke-424, Pemuda dan Mahasiswa Karo Mengadakan Perjalanan Napak Tilas Di Mulai dari Jl. Guru Patimpus Medan
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg38wB8TRsNKZlOYgL_sFpYpCG460EtxJk7MUw1hEJ_37l_LiM2JnX88Mcm0sYaOlBI8dByKN4k2rZ1dYuldgn4ELp4vVrEBmp03T3n9VoeeGz6IQV9ZNKpzL0P3Qe07R8koIJ0FHNlb__9/s1600/Guru-Patimpus.jpg)
Kemarin, Selasa (1/7/2014), ibu kota Provinsi Sumatera Utara (Sumut), Kota
Medan tepat berusia 424 tahun. Untuk memperingati itu, sejumlah elemen
mahasiswa asal Kabupaten Karo, menggelar Ziarah Napak Tilas Guru Patimpus,
selaku pendiri Kota Medan pada tahun 1590 silam.
Bagaimana proses ziarah dalam rangka memperingati asal
muasal berdirinya Kota Medan, yang lantas menjadi Ibu Kota Provinsi Sumatera
Utara ini?
Sekira 100-an mahasiswa berpakaian hitam-hitam dan
mengenakan kain ulos khas suku Karo yang tergabung dalam sejumlah elemen,
seperti Sanggar Karo Indonesia, Simalem Art, Aktivis Budaya Karo dan Ikatan
Mahasiswa Karo se-Kota Medan, berkumpul di Bundaran Majestyk, Jalan Gatot
Subroto Medan, tepat sekira pukul 17.00 WIB.
Dengan berbaris yang dikomandoi dengan empat sosok yang
masing-masing mengenakan warna kebesarannya, seperti merah sebagai simbol warna
seorang raja, hitam sebagai pengawal,
kuning merupakan ratu dan putih merupakan putra raja. Ditambah sosok lainnya
yang terlihat terus mengganggu keempat sosok itu, yakni sosok burung yang
diperlambangkan sebagai orang jahat yang ingin merebut putri raja.
Kelima sosok itu lantas menuntun para mahasiswa itu berjalan
ke arah patung Guru Patimpus, yang hanya berjarak sekira 500 meter.
Astron Madya Tarigan, koordinator aksi yang berasal dari
Sanggar Karo Indonesia menuturkan, jika kelima sosok itu merupakan tarian
rakyat yang disebut Gundala-gundala.
"Tari gundala-gundala, yang menceritakan seorang
panglima yang menjaga tuan putri. Lebih dari itu, juga untuk meminta
hujan," ungkap pria yang kental logat Karonya ini.
Sesampainya di bawah patung Guru Patimpus, mereka lantas
duduk lesehan di aspal dengan mendengarkan alunan musik khas Karo yang
dimainkan oleh rekan-rekan mereka lainnya.
Tepat sekira pukul 18.00 WIB, Astron Madya memandu para
mahasiswa lainnya untuk masuk ke area patung yang sekelilingnya dipagari besi.
Tepat berada di ujung bibir kolam, yang ditengahnya berdiri tegak patung Guru
Patimpus, para mahasiswa asal Karo tersebut memasang obor dan lilin di
sekeliling kolam melingkari patung tersebut sebanyak 424 buah, sebagai
perlambang usia Kota Medan.
Sebelumnya, para mahasiswa asal Karo tersebut sempat
berdendang dan menari diiringi alunan musik khas Karo yang dimainkan mahasiswa
lainnya. Terdengar nyanyian "Mejuah, juah".
"Kami terpanggil untuk mengenang jasa-jasa Guru
Patimpus sebagai pendiri Kota Medan dan melalui momen ini menunjukkan jika para
mahasiswa Karo peduli terhadap leluhur yang telah mendirikan Kota Medan ini.
Akan kita rekomendasikan ke Pemerintah Kota (Pemko) Medan untuk setiap tahun
digelar agenda seperti ini," cetusnya.
Dalam aksi itu, salah seorang mahasiswa dengan mikropon dan
pengeras suaranya membacakan sebuah monolog yang berjudul "Peduli Guru
Patimpus Sembiring Pelawi 2014, sejarah singkat Guru Patimpus Sembiring Pelawi
(Pendiri Kota Medan 1950). Guru Patimpus Sembiring Pelawi, lahir di Aji Jahe
(salah satu kampung di Kabupaten Karo), hidup sekitar akhir abad ke 16 dan awal
abad 17.
Ia menikah di Batu Karang dengan Br Bangun dan mendirikan
Kampung Perbaji, mempunyai anak laki-laki bernama Bagelit. Ia juga seorang guru
yang dalam Bahasa Karo berarti seorang ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan,
ilmu obat-obatan, ilmu gaib dan memiliki kesaktian namun berjiwa penuh
kemanusiaan, lemah lembut dalam bertutur kata, mempunyai karakteristik yang
simpatik, berwibawa, berjiwa besar dan pemberani.
Dengan menuruni lembah, melewati hutan dan binatang buas, ia
mendaki tebing-tebing yang tinggi, terjal dan curam, dengan menelusuri aliran
Lau Petani, menuju ke satu bandar di hilir Sungai Deli. Setelah beberapa lama
bermukim, ia kawon dengan seorang putri dari Pulo Brayan keturunan anak Panglima
Denai bermarga Tarigan dan sekitar tahun 1590 Masehi.
Ia membuka dan mendirikan kampung di pertemuan dua sungai
yaitu Sungai Deli dan Babura yang dinamai Medan. Dari perkawinan ini, lahir
seorang putra yang diberi nama Hafis Muda. Dari sinilah silsilah keturunan
Datuk Wajir Urung Sepuluh Dua Kuta (Datuk Hamparan Perak), keturunan terakhir
dari generasi ke XV adalah Datuk Adil Freddy Haberham SE, salah seorang Datuk
Empat Suku di Kesultanan Deli.
Sejarah berdirinya Kota Medan bermula saat Guru Patimpus membuka
sebuah Kampung Medan, yang semula dalam bahasa karo disebut Madan (Sembuh,
baik). Arti nama Guru Patimpus Sembiring Pelawi, Guru adalah seorang ahli
berbagai ilmu pengetahuan, obat-obatan, ilmu gaib dan memiliki kesaktian, Pa
memiliki dua arti, yakni panggilan untuk seorang laki-laki yang sudah memiliki
anak dan panggilan untuk menyatakan sifat sesorang terutama bagi laki-laki. Dan
Timpus adalah sarung atau kain yang diikatkan di atas pundak yang diisi bekal
makanan atau keperluan perjalanan. Sembiring merupakan salah satu marga dalam
suku karo. Marga2 tersebut adalah Karo-karo, Ginting, Tarigan, Sembiring dan
Perangin-angin. Dan Pelawi adalah salah satu cabang marga yang masuk ke dalam
induk marga Sembiring.
"Ini bentuk penghargaan kepada leluhur, dan kami
berharap semua ini dilestarikan," ungkap dua panitia penyelenggara kepada
Pro Media, Joel Sebayang dan Denhas Sembiring Maha.
Ziarah napak tilas itu sendiri, baru berakhir pada sekira
pukul 21.00 WIB, dengan menjadwalkan beberapa agenda. Selain pawai massal dari
tugu Bundaran Majestyk ke Tugu Guru Patimpus, penyalaan obor dan lilin sebanyak
424 buah, performance Tari Gundala-gundala dan juga Tari Kehamaten.
Foto : Net/Sejumlah mahasiswa dari Etnis Karo di Kota Medan,
Sumut, membawakan Tari Gundala-Gundala didepan tugu Guru Patimpus Sembiring
Pelawi, di Jalan S Parman Ujung, Medan, Selasa (1/7/2014), dalam rangka
memperingati hari jadi Kota Medan ke 242.
Sumber: SumutDaily
Sumber: SumutDaily
Tinggalkan Komentar Anda